Antara tidur dan terjaga dari
tidur, sayup-sayup terdengar derap sepatu berirama. Semula ibu itu menduga
adiknya datang berkunjung. Maklum saja salah satu adiknya ada yang menjadi
tentara. Tetapi alangkah kagetnya ketika membuka mata ternyata yang datang
bukan adiknya dan tidak hanya satu. Di halaman rumah yang luas sudah banyak
tentara dengan senjata siap meledak. Tidak hanya di halaman, bahkan di
sekeliling rumah sudah penuh tentara.
“ Mana suamimu” gertak Pak tentara dengan suara
tinggi tanpa basa-basi.
Si ibu, meskipun orang desa
tetapi kaya pengalaman. Pergaulannya yang luas dan kemampuan berorganisasinya
yang cukup, membuat si ibu cepat menguasai keadaan.
“Pasti ada yang tidak beres”
gumam hati si Ibu.
“Maaf Pak Tentara, kalau boleh
tahu apa keperluan bapak datang dengan membawa pasukan ini” balik si Ibu
bertanya ke Pak Tentara.
“Jawab dimana suamimu, jangan
banyak tanya. Panggil segera dia, suruh keluar, atau saya tembak” sergah Pak
tentara tidak mengendorkan sedikitpun intonasinya.
“Kalau mencari suami saya,
silahkan bapak duduk dulu, tunggu suami saya datang, karena suami saya belum pulang
dari mengajar” jawab si ibu dengan tidak sedikitpun menunjukkan kegentaran.
“Tidak percaya, pasti sembunyi di
dalam. Pasukan cari di dalam” begitu komando yang diteriakkan. “Siaaaappp”
balas teriakan para prajurit tanpa menunggu komando berikut.
Tidak beberapa lama, tiba-tiba
dari dalam rumah terdengar suara “Tembak…tembaaak…tembak” Bersamaan dengan
teriakan tersebut melengking jeritan seorang anak perempuan dari dalam rumah.
Sontak si ibu melompat dan berlari menuju ke dalam rumah. “Tahaaannn…tahaaaaannn..”
Jerit si Ibu sambil mencari arah suara anaknya yang menjerit-jerit
sejadi-jadinya. Ternyata salah satu putrinya begitu melihat tentara datang
langsung sembunyi di kolong tempat tidur. Si Ibu dengan sabar menarik tangan
anaknya keluar dari kolong tempat tidur. Dibimbing anaknya dipeluk dan
diusap-usap kepala sang anak untuk menenangkannya, sementara si tentara
bersungut-sungut sambil meneruskan penggeledahannya.
Kolong tempat tidur, almari,
geledheg (semacam meja yang mirip almari, biasanya untuk menyimpan beras dan
bahan dapur lainnya), serta seluruh kamar tidak ada yang terlewat dari
penggeledahan.
“Kau sembunyikan dimana suamimu”
teriakan intimidasi kembali menggelegar.
“Tunggu saja” Jawab ibu itu
enteng sambil ngedumel karena anaknya hamper ditembak.
Setelah beberapa saat, dari
kejauhan terlihat sang suami menuntun sepeda terlihat santai. Ya rumah si ibu
ini letaknya paling luar dari sebuah dusun, sehingga cukup leluasa untuk
melihat kea rah jalan yang menuju ke dusun itu.
“Mas cepat” teriak si Ibu ketika
suaminya mendekat, “Sudah ditunggu nih. Apa salah Mas Guru kok tentara pada
kesini, hampir saja anak kita ditembak” Si Ibu nyerocos. “Kenapa santai,
sepedanya kenapa sampai dituntun segala”.
“Begini bu, ini tadi dari jauh
sepeda saya tuntun karena di kiri kanan jalan banyak orang tiarap dengan
senjata, saya kan tidak sopan kalau ada orang tiarap di tepi jalan kok saya
tetap menaiki sepeda. Tidak sopan” tegas
sang suami penuh santun. Memang bukan maksud sang Bapak untuk memamerkan sepeda
fongersnya yang bagus, dengan bunyi cik…cik..cik yang syahdu di alam pedesaan.
“Nah itu pak tentara, suami saya,
terus apa yang Pak Tentara mau” Si Ibu tetap sewot.
“Suami ibu saya bawa” Kata Pak
Tentara dengan suara sedikit mengendor.
Tanpa bekal apapun, sang suami
dibawa tentara, tanpa tahu kemana suami akan dibawa.
Setelah beberapa waktu terdengar
khabar bahwa ternyata ada beberapa orang yang dikenal ibu juga diambil tentara.
Salah satunya keponakan sang suami, dari abang tertua.
Beberapa minggu kemudian tersiar
khabar bahwa suami si ibu telah dieliminasi. Eliminasi adalah istilah halus dari dihabisi
alias dibunuh. Kabar tersebut semakin jelas ketika sang keponakan dilepas dan langsung memberitahukan ke si Ibu.
“Wadhuh bulik, saya mohon maaf
baru bias menyampaikan ini sekarang karena selama ditahan sama sekali tidak ada
kesempatan untuk berhubungan dengan pihak luar” kata sang keponakan
terbata-bata.
“Ceritanya bagaimana sampai kamu
tahu bahwa paklikmu sudah tiada”
“Begini bulik, setiap malam ada
panggilan dari petugas, sepuluh sampai dua puluh nama diteriakkan agar
berkumpul. Orang-orang tersebut setelah terkumpul kemudian dibawa ke suatu
tempat untuk kemudian dieksekusi. Martowiryono…..Martowiryono……Martowiryono..
nama paklik dipanggil dua – tiga kali pada malam itu. Panggilan itu tidak akan
berhenti sampai orang yang dipanggil datang, saya yakin waktu itu hanya dua
atau tiga kali nama paklik dipanggil, berarti pemilik nama sudah datang. Pasti Oaklik telah dieksekusi”.
“Alhamdulillah” desis si Ibu.
“Begini, mas” Panggilan mas untuk
sang keponakan adalah kebiasaan di desa itu memanggil anak-anak dari abangnya.
“Paklikmu itu setelah ditangkap langsung dibawa ke Solo, tidak ke Klaten. Jadi
Paklik sampai sekarang masih segar bugar di sana. Ya beruntung kenapa Allah
swt. membawa ke Solo, tidak ke Klaten. Pasti ada kesamaan nama, sehingga yang
dieksekusi itu orang lain, walau nama sama. Saya Rabu besok mau bezoek, kalau
mau ikut boleh”.
Memang waktu itu ada upaya
menghilangkan tokoh-tokoh Islam yang dianggap musuh. Setiap ketua organisasi
tertentu di setiap desa atau kelurahan boleh menyetor nama untuk dieksekusi.
Manusia merencanakan, Tuhan yang
menentukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar