Rabu, 30 Januari 2013

LOLOS DARI MAUT II

Siang yang panas. Seorang ibu yang lembut sedang menidurkan putranya tersayang. Di sudut lain dua putrinya si sulung dan adiknya asyik bermain dengan ceria. Seperti biasa apabila menidurkan anaknya, si ibu hampir pasti ikut tidur juga. Tetapi siang itu sang anak masih enggan tidur meski si ibu sudah berupaya maksimal, mulai dari nembang (bernyanyi Jawa) sampai melantunkan lagu-lagu berbahasa Belanda.
Antara tidur dan terjaga dari tidur, sayup-sayup terdengar derap sepatu berirama. Semula ibu itu menduga adiknya datang berkunjung. Maklum saja salah satu adiknya ada yang menjadi tentara. Tetapi alangkah kagetnya ketika membuka mata ternyata yang datang bukan adiknya dan tidak hanya satu. Di halaman rumah yang luas sudah banyak tentara dengan senjata siap meledak. Tidak hanya di halaman, bahkan di sekeliling rumah sudah penuh tentara.
 Mana suamimu” gertak Pak tentara dengan suara tinggi tanpa basa-basi.
Si ibu, meskipun orang desa tetapi kaya pengalaman. Pergaulannya yang luas dan kemampuan berorganisasinya yang cukup, membuat si ibu cepat menguasai keadaan.
“Pasti ada yang tidak beres” gumam hati si Ibu.
“Maaf Pak Tentara, kalau boleh tahu apa keperluan bapak datang dengan membawa pasukan ini” balik si Ibu bertanya ke Pak Tentara.
“Jawab dimana suamimu, jangan banyak tanya. Panggil segera dia, suruh keluar, atau saya tembak” sergah Pak tentara tidak mengendorkan sedikitpun intonasinya.
“Kalau mencari suami saya, silahkan bapak duduk dulu, tunggu suami saya datang, karena suami saya belum pulang dari mengajar” jawab si ibu dengan tidak sedikitpun menunjukkan kegentaran.
“Tidak percaya, pasti sembunyi di dalam. Pasukan cari di dalam” begitu komando yang diteriakkan. “Siaaaappp” balas teriakan para prajurit tanpa menunggu komando berikut.  
Tidak beberapa lama, tiba-tiba dari dalam rumah terdengar suara “Tembak…tembaaak…tembak” Bersamaan dengan teriakan tersebut melengking jeritan seorang anak perempuan dari dalam rumah. Sontak si ibu melompat dan berlari menuju ke dalam rumah. “Tahaaannn…tahaaaaannn..” Jerit si Ibu sambil mencari arah suara anaknya yang menjerit-jerit sejadi-jadinya. Ternyata salah satu putrinya begitu melihat tentara datang langsung sembunyi di kolong tempat tidur. Si Ibu dengan sabar menarik tangan anaknya keluar dari kolong tempat tidur. Dibimbing anaknya dipeluk dan diusap-usap kepala sang anak untuk menenangkannya, sementara si tentara bersungut-sungut sambil meneruskan penggeledahannya.
Kolong tempat tidur, almari, geledheg (semacam meja yang mirip almari, biasanya untuk menyimpan beras dan bahan dapur lainnya), serta seluruh kamar tidak ada yang terlewat dari penggeledahan.
“Kau sembunyikan dimana suamimu” teriakan intimidasi kembali menggelegar.
“Tunggu saja” Jawab ibu itu enteng sambil ngedumel karena anaknya hamper ditembak.
Setelah beberapa saat, dari kejauhan terlihat sang suami menuntun sepeda terlihat santai. Ya rumah si ibu ini letaknya paling luar dari sebuah dusun, sehingga cukup leluasa untuk melihat kea rah jalan yang menuju ke dusun itu.
“Mas cepat” teriak si Ibu ketika suaminya mendekat, “Sudah ditunggu nih. Apa salah Mas Guru kok tentara pada kesini, hampir saja anak kita ditembak” Si Ibu nyerocos. “Kenapa santai, sepedanya kenapa sampai dituntun segala”.
“Begini bu, ini tadi dari jauh sepeda saya tuntun karena di kiri kanan jalan banyak orang tiarap dengan senjata, saya kan tidak sopan kalau ada orang tiarap di tepi jalan kok saya tetap  menaiki sepeda. Tidak sopan” tegas sang suami penuh santun. Memang bukan maksud sang Bapak untuk memamerkan sepeda fongersnya yang bagus, dengan bunyi cik…cik..cik yang syahdu di alam pedesaan.
“Nah itu pak tentara, suami saya, terus apa yang Pak Tentara mau” Si Ibu tetap sewot.
“Suami ibu saya bawa” Kata Pak Tentara dengan suara sedikit mengendor.
Tanpa bekal apapun, sang suami dibawa tentara, tanpa tahu kemana suami akan dibawa.
Setelah beberapa waktu terdengar khabar bahwa ternyata ada beberapa orang yang dikenal ibu juga diambil tentara. Salah satunya keponakan sang suami, dari abang tertua.
Beberapa minggu kemudian tersiar khabar bahwa suami si ibu telah dieliminasi.  Eliminasi adalah istilah halus dari dihabisi alias dibunuh. Kabar tersebut semakin jelas ketika sang keponakan dilepas  dan langsung memberitahukan ke si Ibu.
“Wadhuh bulik, saya mohon maaf baru bias menyampaikan ini sekarang karena selama ditahan sama sekali tidak ada kesempatan untuk berhubungan dengan pihak luar” kata sang keponakan terbata-bata.
“Ceritanya bagaimana sampai kamu tahu bahwa paklikmu sudah tiada”
“Begini bulik, setiap malam ada panggilan dari petugas, sepuluh sampai dua puluh nama diteriakkan agar berkumpul. Orang-orang tersebut setelah terkumpul kemudian dibawa ke suatu tempat untuk kemudian dieksekusi. Martowiryono…..Martowiryono……Martowiryono.. nama paklik dipanggil dua – tiga kali pada malam itu. Panggilan itu tidak akan berhenti sampai orang yang dipanggil datang, saya yakin waktu itu hanya dua atau tiga kali nama paklik dipanggil, berarti pemilik nama sudah datang. Pasti Oaklik telah dieksekusi”.
“Alhamdulillah” desis si Ibu.
“Begini, mas” Panggilan mas untuk sang keponakan adalah kebiasaan di desa itu memanggil anak-anak dari abangnya. “Paklikmu itu setelah ditangkap langsung dibawa ke Solo, tidak ke Klaten. Jadi Paklik sampai sekarang masih segar bugar di sana. Ya beruntung kenapa Allah swt. membawa ke Solo, tidak ke Klaten. Pasti ada kesamaan nama, sehingga yang dieksekusi itu orang lain, walau nama sama. Saya Rabu besok mau bezoek, kalau mau ikut boleh”.
Memang waktu itu ada upaya menghilangkan tokoh-tokoh Islam yang dianggap musuh. Setiap ketua organisasi tertentu di setiap desa atau kelurahan boleh menyetor nama untuk dieksekusi.
Manusia merencanakan, Tuhan yang menentukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ShareThis