Kamis, 28 Juni 2012

Pengantar

Ditulis sekedar mengisi waktu yang banyak luang setelah pensiun, berfantasi berimajinasi, jadi kalau ada kesamaan nama, itu tidak sekedar  ingin menggunakan nama tersebut,tetapi juga karena rasa kedekatan hati dan rasa bangga memiliki teman yang baik.
Mohon maaf jika saya tidak mohon ijin terlebih dahulu. Tanpa mengurangi rasa hormat, melalui tulisan ini kami mohon ijin untuk menggunakan nama Bapak/Ibu atau Saudara guna menguatkan cerita ini. Maaf dan terima kasih.


                                                             ====== &&&&&& ======


Tahun 1998.
Setelah sukses jual rumah berangkatlah ke Tanah Suci. Mulai pendaftaran yang sangat lancar, hingga manasik yang penuh semangat. Seperti biasa orang yang baru pertama bepergian, segala perlengkapan disiapkan dengan baik, termasuk buku tuntunan manasik, merasa tidak cukup dari yang diberikan Pemerintah, dibelilah dari sumber lain. “Apa perlu buku ini dibawa semua?” tanya istri. “Ya” Jawabku, “siapa tahu nanti ada yang membutuhkan”.
Betul saja belum lagi sampai di Tanah suci, di pesawat ada pramugari yang tepat berdiri satu baris di depanku berkata “Bapak Ibu sekiranya ada yang memiliki dua buku manasik, kami mohon dapat diberikan kepada kami satu saja, karena kami juga bermaksud berhaji, tetapi belum punya buku manasik”. Astaghfirullah, tidak banyak komentar, satu buku berpindah tangan, “Bapak alamatnya mana, nanti kalau sudah selesai saya kirimkan kembali ke Bapak”. “O, tidak usah memang sudah saya niatkan untuk yang memerlukan kok”

                                            ooooooOOOoooooo

Makkatul Mukarromah ribuan kilometer dari Indonesia, saat musim haji berjuta manusia memadati kota itu.  Jangan mimpi ketemu teman, apalagi waktu itu handphone belum populer, jadi sulit untuk bertemu teman, meskipun satu kloter. Tetapi tidak demikian dengan kejadian siang itu.
Hari itu saya sedang menyelesaikan sa’i, selesai sudah etape ke tujuh, di ubun-ubun yang terpikir hanya tahalul atau potong rambut untuk menutup prosesi umroh sebelum wukuf. Tiba-tiba kudengar terikan lantang suara wanita menyibak kerumunan manusia menyerukan namaku, lengkap ya, namaku yang panjang itu diteriakkan lengkap, suara wanita, aku menoleh, siapa tahu bidadari. Ah ternyata memang Dewa yang manggil, ya Dewa bukan Dewi, Dewa temanku di Malang yang nggak seujung rambutpun aku berpikir dia menunaikan ibadah haji.
Sekali lagi astaghfirullah, aku tidak sendiri, banyak temanku disini...
Dunia sempit, setelah cerita di tempat sa’i yang setelah itu tidak bisa ketemu lagi dengan mBak Dewa beserta kelompoknya, (oh ya waktu itu mBak Dewa selain dengan suaminya juga bersama dua teman saya dari Malang), meskipun saya terus menerus mencarinya, dan akhirnya terlupakan karena sibuk dengan ibadah yang lain.

                                                  ooooooOOOoooooo

Sore yang indah, setelah sukses melempar Jumrah Aqabah di hari pertama yang sering banyak jamaah menemui kesulitan saat melemparinya, saya dengan rombongan pulang dengan hati berbunga-bunga. Saya sebagai ketua regu (Karu) paling berbahagia karena semua anggota regu telah memenuhi rukunnya.
Saat pulang itulah saya ketemu serombongan besar jama’ah yang berangkat  akan melempar jumrah juga tepat di ujung terowongan  Mina. Tidak saya duga namaku dipanggil lagi oleh seseorang. Astaghfirullah ternyata temanku namanya Djunaidi Hishom yang teriak memanggilku. Beliau berhaji bersama keluarganya juga. Ah dunia memang sempit. Tapi ya hanya sekali itu ketemu.

                                             oooooOOOooooo  

Sungguh rugi jika ke tanah suci hanya digunakan waktunya untuk jalan-jalan atau sibuk belanja saja. Berdzikir dan memperbanyak ibadah lainnya seperti shalat sunah atau baca Al-Quran akan lebih bermakna.
Seperti biasa sehabis shalat ‘Ashar sambil berdzikir di depan Ka’bah sejajar dengan arah Multazam, saya merenung mensyukuri ni’mat Allah, sekaligus mengangumi kebesarannya. Seperti biasa di seputar Ka’bah tiada henti manusia berputar  melakukan tawaf. Begitupun yang kulihat sore itu, banyak orang dari berbagai suku mengelilingi Ka’bah. Dalam suasana hati yang demikian larut, tiba-tiba dua baris dari tempatku duduk, kulihat  seseorang (yang tidak salah pasti dia dari suku melayu) sedang asyik memasukkan tangannya ke saku pria tua kulit hitam, dan kulihat sesuatu diambil si melayu dari saku tersebut. Aku tercekat, berdiri dan mau berteriak serta melompat untuk menangkapnya, tetapi tidak bisa. Hingga pulang sampai di maktab tak henti-hentinya aku mengutuk diriku yang tidak bisa berbuat apa-apa melihat kemungkaran yang terjadi di depan Ka’bah tadi. Oh...diriku..... Sampai kini masih terbayang wajah lelaki tua yang pasti sangat kehilangan barangnya itu.

                                               ooooooOOOoooooo

Tahun 1996.
KEPUTUSAN UNTUK MENJUAL RUMAH yang diperoleh dengan susah payah itu bulat sudah. Padahal saat itu belum punya rumah yang lebih layak. Memang sudah ada rumah yang diperoleh dari pinjaman perusahaan seharga Rp.14 juta dan siap ambruk. Tak apalah.
Ya rumah itu diperoleh dengan cara mengangsur ke BTN. Waktu itu karena perusahaan menempatkan saya jauh dari kampung,maka saya harus kontrak rumah. Harga kontrakan setiap tahun berubah, mulai dari Rp. 250.000,- per tahun sampai tahun ke tiga sudah mencapai Rp. 450.000,- Mahal dan uang hilang. Sampai suatu saat ada developer yang membangun rumah dengan fasilitas kredit dari BTN dengan angsuran per bulan Rp. 52.000,- Memang lebih mahal tetapi rumah bisa jadi milik sendiri.
Jadi ketika saya dan istri ingin naik haji, sumber dana satu-satunya yang layak dipertimbangkan adalah menjual rumah itu.Tetapi berapa harga yang layak???. Saya tidak menemui kesulitan dalam menentukan harganya, cukuplah senilai dua tiket untuk naik haji. Jadilah disepakati di harga Rp. 18 juta. DEAL

                                                  oooooOOOooooo

Pagi itu bangun dengan suasana hati yang bahagia,rileks, dan badan segar. Pagi-pagi benar, jam 07.00 WIB sudah siap berdandan rapi. Ya pagi itu hari pertama  pendaftaran haji di Bank. Saya tahu persis bank buka jam 08.00, tidak bisa lebih awal, jadi kalau berangkat dari rumah jam 07.30 pasti masih ada waktu untuk antre.
Dengan naik sepeda motor saya dengan istri berangkat ke kantor Bank favoritku, BANK BNI. Perjalanan dari rumah hingga ke Bank BNI melewati beberapa Kantor Bank yang menerima penyetoran Ongkos Naik Haji (ONH) yaitu Bank Expor Impor, Bank Dagang Negara dan Bank Bumi Daya.
Ternyata di bank-bank tersebut antrian calon haji sudah sangat banyak, bahkan sudah memenuhi  tenda yang disediakan, menurut cerita yang banyak saya terima setelah pendaftaran, ternyata mereka ada yang antri sejak sore hari sebelumnya, karena aturan siapa cepat siapa dapat, tidak seperti sekarang yang bisa daftar untuk haji tahun-tahun mendatang. Hati was-was dan sedikit panik, motorpun dipacu lebih kencang.
Alhamdulillah ternyata di BNI masih sepi, langsung saya ambil nomor antrian, nomor 7 untuk saya dan 8 untuk istri saya. Alhamdulillahirobbil ‘alamiiin. Sampailah saat pengisian formulir, saya isikan formulir istri kemudian baru saya sendiri. Setelah dicek petugas, astaghfirullah, isian saya salah. Boss di Cabang itu Pak Arkie Amsar, yang mantan Boss saya di Malang, bersungut-sungut, sudah tahunan membantu  mengisi formulir haji orang lain, kok setelah untuk diri sendiri salah, padahal tidak boleh di TippEx atau bekas dihapus. Bank nggak mau menerima, kecuali Departemen Agama memperbolehkan. Tidak ambil waktu, setelah proses pendaftaran untuk istri saya beres, sayapun buru-buru ke Kantor Departemen Agama Semarang. Di jalan saya bilang kepada istri, jika terpaksa saya ditolak, saya ingin istri bisa berangkat sendiri, tetapi istri ngotot, dan mengajak berdoa agar Depag mengijinkan.
Di Kantor Depag saya disambut Bapak Prickel Duri dengan hangat, seperti teman akrab yang sudah lama tidak ketemu. Permasalahan saya sampaikan ke beliau. Dengan sigap beliau meminta ke staffnya untuk memberi catatan seperlunya bahwa saya tetap sah sebagai pendaftar calon haji, alhamdulillah, terima kasih Pak Prickel. Sayapun kembali ke BNI untuk menyelesaikan pendaftaran tersebut.
Sampai  saat inipun saya masih menitikkan air mata jika ingat masalah ini.
Cerita haji,
Ditulis sekedar mengisi waktu yang banyak luang setelah pensiun, berfantasi berimajinasi, jadi kalau ada kesamaan nama, itu hanya karena ingin menggunakan nama tersebut, juga karena rasa kedekatan hati dan rasa bangga memiliki teman yang baik.
                                              ooooooOOOoooooo

Sudah biasa kalau ada seseorang yang akan naik haji banyak anggota keluarga atau tetangga yang mengunjunginya.  Berduyun-duyun, siang malam, bahkan kadang-kadang si calon haji kecapean menyambut para tamunya. Banyak calon haji yang sudah loyo ketika berangkat. Oleh sebab itu banyak dan sudah umum pula bila si Calon Haji menyiasati dengan mengundang sanak famili, kerabat dekat dan tetangga dalam suatu acara selamatan agar cukup serkali itu saja melayani tamu. Tidak capai.
Meskipun demikian masih saja ada yang datang tidak pada waktunya. Tidak apa-apa, toh mereka membawa doa agar calon haji diberi kemudahan, kesehatan dan dapat berkumpul kembali bersama keluarga nantinya.
Seperti siang itu, saya juga didatangi keluarga dari luar kota (Klaten). Satu rombongan tidak kurang dari tujuh orang. Ramai dan riuh rendah, apalagi rumah kontrakan saya relatif kecil. Oh ya, saya masih menempati rumah kontrakan, karena di Semarang saya belum punya rumah, sementara rumah saya ada di Malang. Saya kontrak rumah itu seharga Rp. 1.800.000,- setahun.
Dalam perbincangan yang penuh rasa persaudaraan itu ada yang bertanya : “Mas, naik haji ini memang sudah panggilan atau yang lainnya?” “Maksudnya?” balik saya bertanya, karena saya kaget menerima pertanyaan “diluar tema” tersebut. “Ya, maksud saya kalau di tempat saya itu kalau bossnya haji terus anak buahnya juga pada naik haji” lanjutnya enteng. “Atau ini biar namanya keren pakai titel haji” sahut saya terus terang. Aneh memang, dilihat dari kekayaan jelas saya masih bisa dibilang orang tidak mampu, rumah saja masih kontrak, dikampung lagi, kok naik haji. Dari segi usia waktu itu saya masih layak dibilang muda, ya masih pemuda. “Kalau saya, ini kan ibadah, jadi biarlah ini urusan saya dengan Allah swt. saja”. Subhanallah... Untuk titel haji???? Yang saya tahu, semua sahabat Rosulullah saw bahkan Rosulullah saw sendiri tidak menggunakan titel haji. Tidak ada Haji Abu Bakar, Haji Umar bin Khattab dan sebagainya. (yang saya tahu lho)
                                             ooooooOOOoooooo
Banyak kaum muslimin masih ragu untuk menunaikan rukun Islam yang kelima, meskipun dilihat dari kemampuan finansial jelas sudah cukup mampu. Alasan utama adalah belum terpanggil, atau banyak yang jujur mengakui banyak dosa sehingga khawatir kalau di tanah haram nanti akan dibalas. Astaghfirullah.
Seperti tetangga saya, hobbynya sabung ayam, meskipun istri beliau mendesak dengan sangat untuk berangkat naik haji, tetapi beliau masih bersikukuh menolak karena belum mendapat panggilan....
Padahal kalau sudah ikhlas berangkat naik haji dan berserah diri sepenuhnya kepada Allah swt, insya Allah apa-apa yang dikhawatirkan tersebut tidak akan terjadi.
Kecuali,
Kalau disana memiliki sifat sombong, atau merasa lebih dari orang lain. Contohnya saya sendiri.  Ketika saya sedang asyik menikmati indahnya Masjidil Haram dan Ka’bah sambil menunggu istri yang sedang thawaf, dalam hati saya merasa heran kalau ada orang tersesat disini. Saya berkata pada diri sendiri “Kenapa banyak orang tersesat disini, padahal semua jelas, semua pintu ada nomornya baik dengan tulisan Arab maupun latin, kalau tidak tahu semua, toh ada tanda-tanda khusus yang bisa dijadikan pedoman, misalnya jam, atau apa”.
Ditengah asyiknya melamun, saya terkaget-kaget ketika bahuku ditepuk seseorang. Saya menoleh, dan langsung disergap pertanyaan “Dimana tempat mulainya Sa’i??” Tanya orang bule dengan aksen britishnya yang kental.  Dengan tergagap-gagap sambil mengacung-acungkan telunjuk saya, saya menunjuk ke berbagai arah nggak karu-karuan. Orang disekitar saya pada heran melihat polah saya, mereka bertanya, banyak bahasa, saya nggak tahu, ada yang menggunakan bahasa arab yang kebetulan meskipun sedikit saya tahu. Kepada beliau saya tanya tempat awal untuk melakukan sa’i, dan beliaulah yang menunjukkan arah tepat untuk awal sa’i. Oh, si bule dengan senyum sinis meninggalkan saya. Astaghfirullah.

ShareThis