Mohon maaf jika saya tidak mohon
ijin terlebih dahulu. Tanpa mengurangi rasa hormat, melalui tulisan ini kami
mohon ijin untuk menggunakan nama Bapak/Ibu atau Saudara guna menguatkan
cerita ini. Maaf dan terima kasih.
====== &&&&&& ======
Tahun 1998.
Setelah sukses jual rumah
berangkatlah ke Tanah Suci. Mulai pendaftaran yang sangat lancar, hingga
manasik yang penuh semangat. Seperti biasa orang yang baru pertama bepergian,
segala perlengkapan disiapkan dengan baik, termasuk buku tuntunan manasik,
merasa tidak cukup dari yang diberikan Pemerintah, dibelilah dari sumber lain.
“Apa perlu buku ini dibawa semua?” tanya istri. “Ya” Jawabku, “siapa tahu nanti
ada yang membutuhkan”.
Betul saja belum lagi sampai
di Tanah suci, di pesawat ada pramugari yang tepat berdiri satu baris di
depanku berkata “Bapak Ibu sekiranya ada yang memiliki dua buku manasik, kami
mohon dapat diberikan kepada kami satu saja, karena kami juga bermaksud
berhaji, tetapi belum punya buku manasik”. Astaghfirullah, tidak banyak
komentar, satu buku berpindah tangan, “Bapak alamatnya mana, nanti kalau sudah
selesai saya kirimkan kembali ke Bapak”. “O, tidak usah memang sudah saya
niatkan untuk yang memerlukan kok”
ooooooOOOoooooo
Makkatul Mukarromah ribuan
kilometer dari Indonesia, saat musim haji berjuta manusia memadati kota
itu. Jangan mimpi ketemu teman, apalagi
waktu itu handphone belum populer, jadi sulit untuk bertemu teman, meskipun
satu kloter. Tetapi tidak demikian dengan kejadian siang itu.
Hari itu saya sedang
menyelesaikan sa’i, selesai sudah etape ke tujuh, di ubun-ubun yang terpikir
hanya tahalul atau potong rambut untuk menutup prosesi umroh sebelum wukuf.
Tiba-tiba kudengar terikan lantang suara wanita menyibak kerumunan manusia
menyerukan namaku, lengkap ya, namaku yang panjang itu diteriakkan lengkap,
suara wanita, aku menoleh, siapa tahu bidadari. Ah ternyata memang Dewa yang
manggil, ya Dewa bukan Dewi, Dewa temanku di Malang yang nggak seujung
rambutpun aku berpikir dia menunaikan ibadah haji.
Sekali lagi astaghfirullah,
aku tidak sendiri, banyak temanku disini...
Dunia sempit, setelah cerita
di tempat sa’i yang setelah itu tidak bisa ketemu lagi dengan mBak Dewa beserta
kelompoknya, (oh ya waktu itu mBak Dewa selain dengan suaminya juga bersama dua
teman saya dari Malang), meskipun saya terus menerus mencarinya, dan akhirnya
terlupakan karena sibuk dengan ibadah yang lain.
ooooooOOOoooooo
Sore yang indah, setelah
sukses melempar Jumrah Aqabah di hari pertama yang sering banyak jamaah menemui
kesulitan saat melemparinya, saya dengan rombongan pulang dengan hati
berbunga-bunga. Saya sebagai ketua regu (Karu) paling berbahagia karena semua
anggota regu telah memenuhi rukunnya.
Saat pulang itulah saya
ketemu serombongan besar jama’ah yang berangkat
akan melempar jumrah juga tepat di ujung terowongan Mina. Tidak saya duga namaku dipanggil lagi
oleh seseorang. Astaghfirullah ternyata temanku namanya Djunaidi Hishom yang
teriak memanggilku. Beliau berhaji bersama keluarganya juga. Ah dunia memang
sempit. Tapi ya hanya sekali itu ketemu.
oooooOOOooooo
Sungguh rugi jika ke tanah
suci hanya digunakan waktunya untuk jalan-jalan atau sibuk belanja saja. Berdzikir
dan memperbanyak ibadah lainnya seperti shalat sunah atau baca Al-Quran akan
lebih bermakna.
Seperti biasa sehabis shalat
‘Ashar sambil berdzikir di depan Ka’bah sejajar dengan arah Multazam, saya
merenung mensyukuri ni’mat Allah, sekaligus mengangumi kebesarannya. Seperti
biasa di seputar Ka’bah tiada henti manusia berputar melakukan tawaf. Begitupun yang kulihat sore
itu, banyak orang dari berbagai suku mengelilingi Ka’bah. Dalam suasana hati
yang demikian larut, tiba-tiba dua baris dari tempatku duduk, kulihat seseorang (yang tidak salah pasti dia dari
suku melayu) sedang asyik memasukkan tangannya ke saku pria tua kulit hitam,
dan kulihat sesuatu diambil si melayu dari saku tersebut. Aku tercekat, berdiri
dan mau berteriak serta melompat untuk menangkapnya, tetapi tidak bisa. Hingga
pulang sampai di maktab tak henti-hentinya aku mengutuk diriku yang tidak bisa
berbuat apa-apa melihat kemungkaran yang terjadi di depan Ka’bah tadi.
Oh...diriku..... Sampai kini masih terbayang wajah lelaki tua yang pasti sangat
kehilangan barangnya itu.
Tahun 1996.
KEPUTUSAN UNTUK MENJUAL
RUMAH yang diperoleh dengan susah payah itu bulat sudah. Padahal saat itu belum
punya rumah yang lebih layak. Memang sudah ada rumah yang diperoleh dari
pinjaman perusahaan seharga Rp.14 juta dan siap ambruk. Tak apalah.
Ya rumah itu diperoleh
dengan cara mengangsur ke BTN. Waktu itu karena perusahaan menempatkan saya jauh
dari kampung,maka saya harus kontrak rumah. Harga kontrakan setiap tahun
berubah, mulai dari Rp. 250.000,- per tahun sampai tahun ke tiga sudah mencapai
Rp. 450.000,- Mahal dan uang hilang. Sampai suatu saat ada developer yang
membangun rumah dengan fasilitas kredit dari BTN dengan angsuran per bulan Rp.
52.000,- Memang lebih mahal tetapi rumah bisa jadi milik sendiri.
Jadi ketika saya dan istri
ingin naik haji, sumber dana satu-satunya yang layak dipertimbangkan adalah
menjual rumah itu.Tetapi berapa harga yang layak???. Saya tidak menemui
kesulitan dalam menentukan harganya, cukuplah senilai dua tiket untuk naik
haji. Jadilah disepakati di harga Rp. 18 juta. DEAL
oooooOOOooooo
Pagi itu bangun dengan
suasana hati yang bahagia,rileks, dan badan segar. Pagi-pagi benar, jam 07.00
WIB sudah siap berdandan rapi. Ya pagi itu hari pertama pendaftaran haji di Bank. Saya tahu persis bank
buka jam 08.00, tidak bisa lebih awal, jadi kalau berangkat dari rumah jam
07.30 pasti masih ada waktu untuk antre.
Dengan naik sepeda motor
saya dengan istri berangkat ke kantor Bank favoritku, BANK BNI. Perjalanan dari
rumah hingga ke Bank BNI melewati beberapa Kantor Bank yang menerima penyetoran
Ongkos Naik Haji (ONH) yaitu Bank Expor Impor, Bank Dagang Negara dan Bank Bumi
Daya.
Ternyata di bank-bank
tersebut antrian calon haji sudah sangat banyak, bahkan sudah memenuhi tenda yang disediakan, menurut cerita yang banyak saya terima setelah pendaftaran, ternyata mereka ada yang antri sejak sore hari sebelumnya, karena aturan siapa
cepat siapa dapat, tidak seperti sekarang yang bisa daftar untuk haji
tahun-tahun mendatang. Hati was-was dan sedikit panik, motorpun dipacu lebih
kencang.
Alhamdulillah ternyata di
BNI masih sepi, langsung saya ambil nomor antrian, nomor 7 untuk saya dan 8 untuk
istri saya. Alhamdulillahirobbil ‘alamiiin. Sampailah saat pengisian formulir,
saya isikan formulir istri kemudian baru saya sendiri. Setelah dicek petugas,
astaghfirullah, isian saya salah. Boss di Cabang itu Pak Arkie Amsar, yang
mantan Boss saya di Malang, bersungut-sungut, sudah tahunan membantu mengisi formulir haji orang lain, kok setelah
untuk diri sendiri salah, padahal tidak boleh di TippEx atau bekas dihapus.
Bank nggak mau menerima, kecuali Departemen Agama memperbolehkan. Tidak ambil
waktu, setelah proses pendaftaran untuk istri saya beres, sayapun buru-buru ke
Kantor Departemen Agama Semarang. Di jalan saya bilang kepada istri, jika
terpaksa saya ditolak, saya ingin istri bisa berangkat sendiri, tetapi istri
ngotot, dan mengajak berdoa agar Depag mengijinkan.
Di Kantor Depag saya
disambut Bapak Prickel Duri dengan hangat, seperti teman akrab yang sudah lama
tidak ketemu. Permasalahan saya sampaikan ke beliau. Dengan sigap beliau
meminta ke staffnya untuk memberi catatan seperlunya bahwa saya tetap sah
sebagai pendaftar calon haji, alhamdulillah, terima kasih Pak Prickel. Sayapun
kembali ke BNI untuk menyelesaikan pendaftaran tersebut.
Sampai saat inipun saya masih menitikkan air mata
jika ingat masalah ini.
Cerita haji,
Ditulis sekedar mengisi
waktu yang banyak luang setelah pensiun, berfantasi berimajinasi, jadi kalau
ada kesamaan nama, itu hanya karena ingin menggunakan nama tersebut, juga
karena rasa kedekatan hati dan rasa bangga memiliki teman yang baik.
Sudah biasa kalau ada
seseorang yang akan naik haji banyak anggota keluarga atau tetangga yang mengunjunginya. Berduyun-duyun, siang malam, bahkan
kadang-kadang si calon haji kecapean menyambut para tamunya. Banyak calon haji
yang sudah loyo ketika berangkat. Oleh sebab itu banyak dan sudah umum pula
bila si Calon Haji menyiasati dengan mengundang sanak famili, kerabat dekat dan
tetangga dalam suatu acara selamatan agar cukup serkali itu saja melayani tamu.
Tidak capai.
Meskipun demikian masih saja
ada yang datang tidak pada waktunya. Tidak apa-apa, toh mereka membawa doa agar
calon haji diberi kemudahan, kesehatan dan dapat berkumpul kembali bersama
keluarga nantinya.
Seperti siang itu, saya juga
didatangi keluarga dari luar kota (Klaten). Satu rombongan tidak kurang dari
tujuh orang. Ramai dan riuh rendah, apalagi rumah kontrakan saya relatif kecil.
Oh ya, saya masih menempati rumah kontrakan, karena di Semarang saya belum
punya rumah, sementara rumah saya ada di Malang. Saya kontrak rumah itu seharga
Rp. 1.800.000,- setahun.
Dalam perbincangan yang
penuh rasa persaudaraan itu ada yang bertanya : “Mas, naik haji ini memang
sudah panggilan atau yang lainnya?” “Maksudnya?” balik saya bertanya, karena
saya kaget menerima pertanyaan “diluar
tema” tersebut. “Ya, maksud saya kalau di tempat saya itu kalau bossnya
haji terus anak buahnya juga pada naik haji” lanjutnya enteng. “Atau ini biar
namanya keren pakai titel haji” sahut saya terus terang. Aneh memang, dilihat dari kekayaan jelas saya masih bisa dibilang orang tidak mampu, rumah saja masih kontrak, dikampung lagi, kok naik haji. Dari segi usia waktu itu saya masih layak
dibilang muda, ya masih pemuda. “Kalau saya, ini kan ibadah, jadi biarlah ini
urusan saya dengan Allah swt. saja”. Subhanallah... Untuk titel haji???? Yang
saya tahu, semua sahabat Rosulullah saw bahkan Rosulullah saw sendiri tidak
menggunakan titel haji. Tidak ada Haji Abu Bakar, Haji Umar bin Khattab dan
sebagainya. (yang saya tahu lho)
Banyak kaum muslimin masih
ragu untuk menunaikan rukun Islam yang kelima, meskipun dilihat dari kemampuan
finansial jelas sudah cukup mampu. Alasan utama adalah belum terpanggil, atau
banyak yang jujur mengakui banyak dosa sehingga khawatir kalau di tanah haram
nanti akan dibalas. Astaghfirullah.
Seperti tetangga saya,
hobbynya sabung ayam, meskipun istri beliau mendesak dengan sangat untuk berangkat
naik haji, tetapi beliau masih bersikukuh menolak karena belum mendapat
panggilan....
Padahal kalau sudah ikhlas
berangkat naik haji dan berserah diri sepenuhnya kepada Allah swt, insya Allah
apa-apa yang dikhawatirkan tersebut tidak akan terjadi.
Kecuali,
Kalau disana memiliki sifat
sombong, atau merasa lebih dari orang lain. Contohnya saya sendiri. Ketika saya sedang asyik menikmati indahnya Masjidil
Haram dan Ka’bah sambil menunggu istri yang sedang thawaf, dalam hati saya
merasa heran kalau ada orang tersesat disini. Saya berkata pada diri sendiri “Kenapa
banyak orang tersesat disini, padahal semua jelas, semua pintu ada nomornya
baik dengan tulisan Arab maupun latin, kalau tidak tahu semua, toh ada
tanda-tanda khusus yang bisa dijadikan pedoman, misalnya jam, atau apa”.
Ditengah asyiknya melamun,
saya terkaget-kaget ketika bahuku ditepuk seseorang. Saya menoleh, dan langsung
disergap pertanyaan “Dimana tempat mulainya Sa’i??” Tanya orang bule dengan
aksen britishnya yang kental. Dengan
tergagap-gagap sambil mengacung-acungkan telunjuk saya, saya menunjuk ke
berbagai arah nggak karu-karuan. Orang disekitar saya pada heran melihat polah
saya, mereka bertanya, banyak bahasa, saya nggak tahu, ada yang menggunakan bahasa
arab yang kebetulan meskipun sedikit saya tahu. Kepada beliau saya tanya tempat
awal untuk melakukan sa’i, dan beliaulah yang menunjukkan arah tepat untuk awal
sa’i. Oh, si bule dengan senyum sinis meninggalkan saya. Astaghfirullah.